Atas nama Kontemplasi.




I often have wondered in deep contemplation It seems that the mind runs wild when you're all alone The ways that it could be, the ways that it should be The things I'd do differently if I could to them again 
"Whispering Jesse-John Denver"
 
Menarilah pikiran-pikiran kami di malam-malam panjang, saat setengah isi rumah sudah menitipkan nyawanya pada Tuhan. Here we are, manusia-manusia dengan kelebihan muatan otak, menengadah muka ke langit-langit putih, sesekali meringkuk mengusap buliran air mata pertanda kami lelah. Dengan alibi Kontemplasi, kami seringkali melupakan bahwa kami tetap manusia, kami mungkin meneriaki kata minta pertolongan, tapi sayangnya seringkali berhenti di kepala.
 
We have a deep conversation with ourself, tidak jarang percakapan-percakapannya berisi menyalahkan diri sendiri. menghakimi masa lalu, menambahkan daftar urut kecemasan-kecemasan dalam hidup. sedang kami belum punya kekuatan untuk sesuatu yang kalian sebut "Berdamai dengan diri sendiri" . di titik ini, kami tidak pernah lepas berdoa dan mencoba.

Seni memaafkan dan menerima diri, sebuah methode yang belum punya ruang lebih besar daripada luka penyesalan dan ketakutan kami, Juga satu paket dengan kecemasan yang volumenya masih lebih besar dari ruang menerima dalam tubuh kami. Sampai dititik ini, kami masih terus menguras hati dan pikiran agar tersedia ruang untuk sebuah seni memaafkan dan menerima diri sendiri.

Satu dua kali kami pernah berangan-angan duduk dipinggir pantai dengan debur ombak yang datang beriringan, lembut hembus hembus angin yang terbawa dari laut, dengan pemandangan cantik matahari terbenam,pasir yang hangatnya masih tersisa ditelapak tangan sebelum berubah menjadi dingin menjelang malam, dibawah langit yang keunguan. Sendirian. Sebagai hiburan atau bisa disebut sebagai luapan keinginan.

Satu dua kali ada yang datang membantu, sehari dua hari, lalu hilang sebelum gerhana pergi. Kami katakan pada mereka, jangan meninggalkan jejak janji. karena kami pernah hampir mati. 

Menjelang pagi, kami tau kami telah terbakar. Sebisanya kami sembunyikan luka. Kami tutupi keberadaannya. Kami kunci mulut rapat-rapat. Kami bersiap menghadapi hari- hari panjang dengan senjata seadanya. Kami terlalu naif, kami tau itu. Tapi untuk menunjukan dan bercerita , kami tidak punya energi. Kami simpan saja, diakhir cerita.

Kami berdandan, kami bertemu banyal orang, kami menyapa, kami tertawa. Seperti orang normal pada umumnya. 

Tentu saja kami ingin hidup benar-benar normal, tidur yang nyenyak, punya bahagia yang porsinya pas. sampai pada titik ini, kami masih tidak lepas berdoa, mencoba, memaaafkan, dan menerima. Tidak mengapa jika ini waktu kami. tidak apa. Kami masih tidak pernah lepas berdoa. Selalu.

di satu malam diiringi lagu HELP - The Beatles


-DSR-



 
 
 
 


Komentar

Postingan Populer