Disuatu sore dibangsal rumah sakit. Saya adalah satu-satunya yang bisa diajak bapak berbicara. Anak gadis yang mulai beranjak remaja.
bapak membelai rambut saya, lalu berkata "sudah telp pakde? kabarin kalau Apak masuk rumah sakit. biar nanti kalau Aapak ga ada, kamu ga dimarahin pakde", suaranya kecil terbata-bata. setengah berbisik tapi bak dentuman keras bagi saya yang sedari tadi menyenderkan kepala disisi ranjangnya. kaget sekali.
"Apak ngomong apa, Apak sembuh kok. bentar lagi juga pulang"
bapak menelan ludah, dia menatap langit-langit tidak bersuara. diam seribu bahasa. saya? sekuat tenaga menahan tangis supaya semua keadaan aman terkendali. kami berdua saling tatap penuh harap.
Disuatu sore lainnya, bapak melepas genggaman tangan saya sambil melepas hembusan nafas terakhirnya dari kerongkongan. saya masih genggam erat-erat tangan bapak yang pelan-pelan terasa dingin.
Disudut ruangan lain, ada ibu yang tidak pernah terlihat serapuh itu "Bangun Mas, bagaimana saya dan Dede? saya gimana?" ibu meraung-raung meratapi nasibnya yang kini jadi janda.
Tidak pernah terpikirkan, bahwa saya dan ibu melangkah sejauh ini. berdua. melewati melanjutkan perjuangan hidup tanpa bapak. kami terluka, tapi kami baik-baik saja.
Bapak tidak meninggalkan apapun setelah kepergiannya, kecuali cerita soal kebaikannya yang banyak sekali dan baru kami tau setelah kepergiannya. satu persatu temannya bersaksi tentang kebaikan bapak, tentang bapak yang tidak pernah tidak baik.
Belasan taun berlalu, saya masih jadi gadis kecil yang merekam memori itu. memori tatapan bapak di rumah sakit, memori tatapan terakhir bapak saat ia memaksa saya untuk menyuapi buah apel dipagi hari di hari terakhirnya, memori ibu menangis begitu histeris yang baru saya lihat. tidak adaaaaa yang hilang. sedikitpun.
memori yang hanya saya dan bapak yang tau. gadis kecil yang selalu ada dibelakangnya saat tamu datang, kepada saya dia ceritakan segala hal yang ibu tidak boleh tau.
kami adalah teman baik, kami adalah satu.
ketika suatu sore ibu menemukan jaket hijau bapak di pojok lemari, saya yang langsung berteriak mengadopsinya. dan kini jaket hijau itu jadi teman baik saya. Kalau keadaan hati sedang tidak baik- baik saja , memakai jaket hijau bapak seperti obat yang ampuh untuk berdamai dengan kecewa. Jaket hijau yang belakangan menemani saya melewati malam-malam panjang yang lirih dan sunyi. membuat saya menjadi lebih tenang karena serasa ada bapak yang menenangkan dan mengelus bagian belakang punggung saya.
cliche, mungkin saya butuh pelukan dan saya tidak memilikinya..
Berbagi beban hidup dengan jaket hijau bapak membuat saya bisa tidur barang sejam dalam semalam. tidak banyak mengubah kecewa tapi setidak-tidaknya saya tau saya punya teman berbagi kepedihan.
Jauh disana saya yakin bapak lihat, wangi bapak yang tertinggal disana. dijaket hijau itu.
tatapan bapak tertinggal disana, di memori kamar saya yang gelap itu.
Dunia saya tidak berubah sejak kepergian Bapak, penuh warna namun khas dengan kekejamannya. Galaxy saya tetap tidak berubah, ada ibu yang doanya memenuhi setiap inch menembus batas langit dan tata surya.
Cerita Sore, Bapak dan Jaket Hijaunya,
Apr, 2021
Komentar
Posting Komentar